PASANG SURUT KEWENANGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DI ERA REFORMASI
Oleh: Ateng Jaelani
Dengan berlakunya UU No.22 Tahun 1999 dan terbentuknya lembaga demokrasi yang baru bagi desa, dalam hal ini BPD, memang memberikan harapan akan berjalannya prosedur demokrasi di level desa tidak hanya secara procedural akan tetapi yang lebih penting adalah secara substantial. Sarana partisipasi masyarakat yang dulu terbatas, mulai dijalankan sehingga mulai terwujud demokrasi yang sebenarnya.
Akan tetapi di sisi lain munculnya BPD sebagai lembaga yang mengawasi eksekutif desa, sering dipandang sebagai sebuah gangguan terhadap sistem yang telah mapan. Dalam hal ini, sangat dimungkinkan kepala desa belum siap untuk diawasi, karena setelah sekian lama semasa orde baru tidak pernah diawasi, mengingat ketua LMD/LKMD juga dirangkap oleh kepala desa. Hal ini memunculkan akibat lain yaitu adanya sejumlah potensi konflik akibat kehadiran lembaga baru di tingkat desa ini (Heru Cahyono,2005:345).
Kepala Desa yang dulunya seolah begitu berkuasa dan mempunyai kewenangan besar tanpa ada yang berani mengkritik, kemudian dihadapkan pada sebuah lembaga tandingan baru yang seakan selalu mengawasi kekuasaan kepala desa melalui sistem kontrol yang dimiliki BPD. Hal tersebut bisa memicu munculnya perasaan saling curiga karena kerja yang dilakukan oleh BPD dianggap merecoki kewenangan Kepala Desa dan aparatnya. Sehingga relasi tidak sehat yang ditunjukkan antara Kepala Desa dan BPD serta ketegangan yang diakibatkan olehnya membawa kendala tersendiri bagi jalannya pemerintahan desa.
Direvisinya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Masih menurutnya, tidak dimilikinya fungsi pengawasan pada Badan Permusyawaratan Desa berarti meniadakan kembali peran politis dan kontrol publik terhadap jalannya pemerintahan desa. Lebih dari itu kepala desa tidak bertanggung jawab kepada rakyat melalui BPD. Sebaliknya, kepala desa kembali memiliki posisi kuat, sebab ia mempunyai otoritas untuk mengelola keuangan desa, tanpa harus dikontrol oleh Badan Permusyawaratan Desa ataupun masyarakat. Hilangnya fungsi kontrol BPD akan membuat efektivitas lembaga tersebut menjadi sangat rendah.
Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2014 Tentang Desa, Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis. Anggota BPD merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan keterwakilan perempuan yang pengisiannya dilakukan secara demokratis melalui proses pemilihan secara langsung atau musyawarah perwakilan.
Dalam Permendagri No. 110/2016 Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi, membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa, dan melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.